http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=2545795176408821728#template GAYO KITA

This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 3 title

Tanoh Gayo.... Keindahan alami yang mulai terusik.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 01 Maret 2012

Menelusuri Sejarah Suku Gayo Melalui Dongeng dan Bukti Arkeologi


Penemuan kerangka manusia pra Sejarah berusia 6500 tahun di Ceruk Mendale, Aceh Tengah. Tampaknya memunculkan kegairahan baru di Gayo untuk melacak asal-usul suku Gayo. Banyak orang yang ingin menjadikan penemuan itu sebagai bukti bahwa Gayo adalah penduduk pertama yang menghuni Aceh.
Ada banyak yang komentar yang bermunculan tentang penemuan itu. Beberapa komentar terdengar logis, tapi tidak sedikit pula komentar yang mengaitkan penemuan itu dengan kekeberen (dongeng-dongeng) tentang asal-usul Gayo. Seringkali terlihat pengkaitan itu tidak sinkron bahkan kontradiktif dengan kronologi sejarah. Karena itulah melalui tulisan ini saya mencoba untuk menyusun kronologi sejarah ini secara benar.
Untuk memahami kronologis sejarah kerangka yang ditemukan di ceruk Mendale ini. Marilah kita memfokuskan perhatian kita ke angka 6500 yang menunjukkan usia kerangka yang ditemukan itu. 6500 tahun adalah masa yang sangat singkat dan dikategorikan modern kalau dipandang dari sudut pandang geologi. Tapi itu adalah masa yang sangat lama sekali jika dipandang dari sudut pandang sejarah peradaban manusia.
Pada masa itu, berdasarkan bukti berbagai penemuan arkeologi. Wilayah Asia Tenggara dihuni oleh suku-suku ras negroid yang peradabannya dikenal dengan peradaban Hoa Binh-Bacson, merujuk pada dua tempat yang berada di Tonkin Vietnam. Tempat bukti arkeologi tentang peradaban ras ini pertama kali ditemukan.
Sekitar 4500-3500 tahun yang lalu, melalui serangkaian proses migrasi yang panjang. Ras mongoloid berbahasa Austronesia berdatangan dari daratan asia mengisi wilayah Asia Tenggara ini. Mereka inilah yang dikenal sebagai Proto-Malay atau Melayu Tua.
Ada berbagai teori mengenai asal-usul bangsa Melayu Tua ini. Teori yang paling terkenal dan paling banyak dianut oleh ahli sejarah adalah “Teori Yunnan”. Menurut teori ini, bangsa Melayu Tua bermigrasi dari sungai Mekong. Teori Yunnan ini didukung oleh para ahli sejarah antara lain R.H Geldern., J.H.C Kern, J.R Foster, J.R Logen, Slamet Muljana dan Asmah Haji Omar.
Bukti-bukti yang mendukung teori ini antara lain ditemukannya, peralatan-peralatan dari batu  di berbagai tempat di kepulauan nusantara, yang persis seperti peralatan yang sama yang ditemukan di Asia tengah. Kemudian teori ini juga didukung oleh bukti kemiripan adat-istiadat bangsa Melayu Tua dengan adat istiadat bangsa Assam dan juga fakta bahwa bahasa suku-suku Melayu Tua memiliki banyak kemiripan dengan bahasa orang Kamboja yang nenek moyangnya berasal dari hulu sungai Mekong.
Suku-suku Melayu Tua ini diyakini sebagai bangsa pelaut dan memiliki teknologi penangkapan ikan dan teknologi pertanian yang terbilang maju pada zamannya. Karena kemampuan inilah mereka bisa berpindah dalam jarak yang luar biasa jauh. Terbentang dari kepulauan Hawaii sampai Madagaskar.
Memang ada bukti ilmiah baru yang disampaikan oleh HUGO (Human Genome Organization) melalui sebuah penelitian genetik tentang ras Asia yang menunjukkan adanya sebuah migrasi dari Asia Tenggara yang bergerak ke utara dan kemudian mendiami Asia Timur. Bukan sebaliknya. Tapi juga sangat banyak bukti bahwa sebelum ada ras mongoloid, Asia Tenggara ini dihuni oleh Ras Negroid. Kedatangan ras mongoloid ke Asia Tenggara ini, mendesak ras negroid yang sebelumnya menghuni wilayah ini, sampai jauh ke timur dan akhirnya terkonsentrasi di sekitar Papua dan Australia.
Ketut Wiradnyana, ketua tim peneliti dalam kegiatan penggalian Ceruk Mendale ini, kepada saya mengatakan kalau kerangka yang ditemukan itu memiliki ciri-ciri campuran mongoloid dan negroid.
Jadi apakah kerangka yang ditemukan di ceruk Mendale itu adalah kerangka nenek moyang orang Gayo dalam pengertian yang sekarang?
Kalau merujuk pada angka 6500 yang menunjukkan tahun usia kerangka yang ditemukan. Kemudian kisah dalam kekeberen yang kita jadikan rujukan, jawabannya jelas BUKAN!
Memang pada kisah kekeberen , kita tidak akan bisa menemukan angka tahun pada kisah yang diceritakan, jadi secara kronologi sejarah. Kapan kisah dalam kekeberen itu terjadi tidak dapat secara tepat kita ketahui. Tapi, berdasarkan isi kisah itu. Berdasar momen-momen dan istilah yang diceritakan dalam kisah itu. Kita bisa menelusuri titik terjauh saat momen  dalam kisah itu bermula dan titik terjauh kapan istilah yang dipakai dalam kekeberen itu mulai dikenal manusia.
Berdasarkan penelusuran seperti inilah kita bisa memastikan. Kalau kekeberen yang ada di Gayo yang kita jadikan rujukan. Semuanya menunjukkan bahwa orang Gayo adalah penghuni yang sangat baru di pulau Sumatra. Karena informasi yang kita dapat berbagai rujukan itu semua berdasarkan kisah-kisah yang sudah kentara berbau Islam yang baru masuk ke Aceh pada paruh milenium kedua. Jadi jelas sama sekali tidak ada hubungan dengan kerangka yang ditemukan di Ceruk Mendale. Bayangkan, Rasulullah Muhammad SAW saja lahir 5000 tahun sesudah pemilik kerangka di Ceruk Mendale meninggal.
Dalam kekeberen yang dikisahkan secara temurun dari mulut, ada banyak kisah yang merujuk asal-usul orang Gayo ke negeri Rum alias Turki. Kisah seperti ini yang disampaikan dalam bentuk seperti pantun, contohnya seperti di bawah ini;
Anak ni reje Rum ari Ujung Acih …… Anak Raja negeri RUM dari Ujung Aceh
Bersarung gunur …………………. Di Gayo, yang dimaksud dengan sarung adalah seliput yang melindungi bayi di dalam perut. Gunur sendiri sejenis timun                                          (atau labu?) dengan ukuran kira-kira sebesar semangka.
Gere betih lintang ………………. Entah melintang
Gere betih bujur…………………. Entah membujur
Gere murupe lagu manusie………….. Tidak mirip manusia
Dalam kisah ini diceritakan, karena malu. Permaisuri raja Rum, berencana menghanyutkan sang anak ke laut (mirip kisah nabi musa). Tapi kemudian sang suami punya ide yang lebih baik. Anak tersebut digantungkan pada layang-layang dan dibawa terbang sampai ke langit.
Di sini yang perlu kita soroti adalah negeri RUM yang berasal dari kata “Romawi”, yang beribukota Istanbul, ibu kota Turki sekarang adalah ibukota dari kerajaan Byzantium yang sebelumnya dikenal dengan nama Romawi Timur.
Sejarah berdirinya Romawi Timur ini diawali dari kekacauan di dunia Romawi yang memakan korban lima kaisar dalam sepuluh tahun. Kekacauan itu berhenti setelah DIOCLETIANUS naik ke tahta kekaisaran dan membagi kekaisaran Romawi yang luas menjadi Romawi Barat yanng berpusat di Roma dan Romawi Timur yang berpusat di Turki sekarang. Diocletianus sendiri memilih berkuasa di Timur, sementara Kekaisaran Barat dia berikan kepada temannya Maximilianus yang dalam sejarah dikenal sebagai Kaisar Augustus. Anak dari Diocletianus, bernama Konstantinus yang menganut kristen yang dia warisi dari Ibunya, menggantikannya sebagai Kaisar dan menjadi Kaisar kristen pertama. Konstantinus inilah yang mendirikan  KONSTANTINOPEL ibukota Romawi Timur yang dinamakan berdasarkan namanya sendiri. Kota ini diresmikan pada tanggal 11 Mei 330 m.
Pada masa itu suku Turki sendiri masih merupakan suku pengembara yang hidup di Asia Tengah.
Diantara suku-suku bangsa Turki itu terdapat suku Uighur Aksulik, Kashgarlik, Uyghur, Uigur dan Turfanlik yang pada tahun 840 keluar dari Mongolia melalui Kyrzyg dan menyebar ke banyak arah termasuk Cina. Entah bagaimana ceritanya, kadang-kadang orang Gayo juga berspekulasi bahwa mereka berasal dari suku Uighur yang juga disebut suku Hui ini. Dan sekali lagi kalau kekeberen ini dijadikan rujukan, jelas sama sekali tidak kena dengan kerangka yang ditemukan di Ceruk Mendale.
Konstantinopel baru ditaklukkan oleh Turki Islam pada tahun 1453 dan penguasa baru ini menguasai seluruh kekuasaan Byzantium, dan mengubah nama kota Konstantinopel menjadi Istanbul. Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan negara Turki.
Jadi kalau kita telusuri asal mulanya. Sebenarnya kisah kekeberen yang memuat tentang negeri RUM ini bermula. tidak lebih jauh dari 1600-an. Ketika Portugis mulai berlayar ke Nusantara. Ketika Kerajaan Aceh yang memeluk Islam meminta pertolongan Turki untuk memerangi Portugis yang Kristen. Turki yang merupakan kekhalifahan Islam terbesar saat itu menyambut permintaan Aceh dengan mengirimkan ahli strategi perang dan sebuah meriam. Aceh kemudian menang dalam perang melawan portugis itu dan sebagai dampak ikutannya, Turki pun jadi sedemikian dipuja di Aceh dan seluruh dunia Melayu (baca buku Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia).
Sejak saat itu raja-raja sampai pemimpin kecil suku-suku di Aceh dan seluruh dunia Melayu mulai merujuk silsilah mereka sampai ke raja-raja di Turki yang di dunia melayu sering disebut sebagai negeri RUM.
Kisah lain tentang asal-usul suku Gayo ini mirip dengan cerita Nabi Nuh tentang banjir besar, tapi jelas secara kronologis sejarah ini tidak mungkin di masa nabi Nuh, karena saat itu sudah ada istilah Selten (Sultan) seperti yang diceritakan melalui pantun di bawah ini.
Surut ni waih pe le……………….. Air mulai surut
Tikik-tikik teduh ni waih………….. Air berhenti (mengalir) sedikit demi sedikit
i ujung Acih……………………… Di ujung Aceh
Oya kati si abangen i Linge………… Itulah sebabnya abangnya di Linge
Si bensu Acih kerna oya……………. Karena itulah Aceh menjadi bungsu
Anak ni Selten Genali si Ude……….. Anak Sultan Genali dari Istri muda
Si Linge anaken si ulubere…………. Di Linge anak yang pertama
Yang menarik dalam kisah ini ada, sebutan “Selten Genali” (Sultan Genali) di sana. Seberapa tua kisah ini bisa kita telusuri dari sejarah kapan istilah ‘Sultan’ ini mulai dikenal dalam peradaban manusia.
Istilah Sultan baru ada pada tahun 1037 Masehi. Berawal dari ketika pasukan Turki Seljuk di bawah pimpinan Tughril Bey (Cucu dari Seljuk), menyerang Baghdad. Khalifah yang ketakutan dengan berbagai cara diplomasi yang lihai membujuk Thuhril Bey (kadang disebut Tughril Beg), orang turki Islam yang tidak bisa berbahasa Arab ini agar tidak membumi hanguskan Baghdad. Dan salah satu caranya adalah, Khalifah memberinya gelar SULTAN , yang berarti pejabat tertinggi. Jadi jelas usia kekeberen di atas masih sangat muda dan sama sekali tidak sinkron dengan sejarah kerangka manusia berusia 6500 tahun yang ditemukan di Ceruk Mendale.
Kalau peradaban mainstream, Eurasia yang kita jadikan rujukan. Masa ketika pemilik kerangka di Ceruk Mendale itu hidup kira-kira sama dengan masa ketika peradaban baru mulai muncul di daratan Eurasia. Ketika bangsa Sumeria membangun kota-kota bernama Kish, Lagash, Eridu, dan Uruk. Yang diperkirakan terjadi sekitar tahun 3300 SM.
Pada masa yang sama, bangsa SEMIT yang menjadi nenek moyang orang Arab dan Yahudi tinggal di Kanaan. Bangsa Semit baru muncul ke permukaan dan dikenal dalam sejarah peradaban ketika pada tahun 2370 SM (Lebih dari 2000 tahun setelah pemilik kerangka di Ceruk Mendale meninggal) Sargon dari Agade memimpin pemberontakan yang menggulingkan raja Kish. Jadi bisa dibayangkan bagaimana kronologi sejarahnya, 2000 tahun setelah pemilik kerangka di Ceruk Mendale meninggal. Bangsa Arab dan Bangsa Yahudi saja belum ada.
Nabi Ibrahim yang merupakan nenek moyang bangsa Arab dan Bangsa Yahudi , diperkirakan hidup sekitar 1800 SM (2700 tahun setelah pemilik kerangka di Ceruk Mendale meninggal). Bersamaan dengan saat Hammurabi mendirikan Babilonia.
Jadi, berbagai kekeberen tentang asal-usul Gayo yang memiliki ‘bau-bau’ Islam ini, jelas masih sangat baru kalau dibandingkan dengan sejarah kerangka yang ditemukan di Ceruk Mendale.
Menarik juga untuk kita ketahui, kenapa orang Gayo suka sekali mengaitkan silsilahnya dengan bangsa besar dalam sejarah. Kalau kita membaca berbagai penelitian antropologis tentang Gayo, mulai dari Hurgronje sampai Bowen. Kita dapat menyimpulkan bahwa fenomena ini terjadi karena karakter sosiopolitik Gayo yang khas, dimana otoritas kekuasaan didasarkan pada hubungan kekerabatan.
Kalau Aceh kita jadikan sebagai pembanding. Kita akan segera melihat kalau kekuasaan RAJA di Gayo tidak sebesar kekuasaan RAJA di Aceh. Kalau di Aceh, raja memiliki otoritas yang sangat kuat dan berdasarkan teritorial. Sosiopolitik Aceh mengembangkan sikap takut dan hormat dari rakyat kepada penguasa. Sementara di Gayo seorang raja hanya bisa melakukan apa yang dia mau, sepanjang para kerabat setuju. Jadi, RAJA dalam pengertian seseorang yang memiliki otoritas penuh sama sekali tidak dikenal di dalam kebudayaan Gayo. Sepanjang sejarahnya, setiap reje di kampung-kampung di Gayo, selalu mendapat koreksi kalau kebijakannya tidak disukai oleh masyarakat. Gayo people, “true republican”, are born egaliterian. Tulis Bowen dalam bukunya Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900 - 1989. Karakter sosiopolitik seperti ini pulalah yang menjelaskan perilaku politik orang Gayo sampai hari ini. Karena semua orang Gayo merasa setara (born egaliterian). Di Gayo, seorang penguasa tidak pernah benar-benar ditakuti dan dihormati secara berlebihan. sebab pada hakikatnya seorang raja di Gayo itu hanyalah seorang “Presiden” di sebuah republik kecil. Apapun kebijakan penguasa yang tidak sesuai dengan kemauan rakyat, orang Gayo akan mengkritiknya dan fenomena itu terjadi sampai hari ini.
Keterbatasan otoritas inilah yang kemudian membuat penguasa Gayo mengembangkan kisah-kisah yang merujuk silsilahnya kepada tokoh-tokoh atau bangsa besar dalam sejarah. Karena memang hanya dengan cara inilah, seorang penguasa di Gayo bisa sedikit dihormati oleh masyarakatnya yang semuanya merasa tidak kurang hebat dari sang penguasa.
Kalau kekeberen yang dijadikan rujukan, masa terjauh yang bisa kita telusuri adalah Kekeberen si Dewajadi sebagai sebagaimana diceritakan oleh Nyaq Putih kepada Hazeu pada tahun 1905. (Di dalam kultur Batak kisah yang sama dikenal dengan kisah Dewa Mula Jadi). Kekeberen si Dewa Jadi ini berkisah tentang seseorang di daratan Asia yang memiliki layangan yang sangat besar, diterbangkan angin bersama layangannya sampai ke Gayo (lihat kemiripannya dengan kekeberen pertama).
Apa yang bisa kita lihat dari kisah ini adalah; saat itu layang-layang sudah dikenal dan dari nama sang tokoh, kentara sekali terlihat pengaruh Hindu. Mengingat pengaruh Hindu baru mulai menyebar di kepulauan Nusantara ini pada abad ke I. Artinya 4500 tahun setelah pemilik kerangka di Ceruk Mendale meninggal. Pengaruh hindu ini masih bisa kita lihat pada aksara Batak yang berakar pada huruf-huruf yang memiliki pengaruh sanskerta. Gayo juga dipercaya dulunya memiliki huruf-huruf seperti ini, tapi semuanya lenyap seiring dengan diterimanya agama Islam dan Gayo pun mulai mengenal huruf Arab dan menganggap semua peradaban sebelumnya sebagai peradaban kafir.
Jadi kalau kita cermati angka 6500 yang menunjukkan angka tahun meninggalnya pemilik kerangka di Ceruk Mendale itu. Semua sejarah bahkan kekeberen Gayo, jadi terdengar seperti kisah kemaren sore.
Apalagi kalau keberadaan kerangka itu dikaitkan dengan cerita Batak 27 yang katanya bukan penduduk asli di Gayo. Jelas ini menjadi semakin lucu, karena istilah BATAK sendiri sebenarnya adalah klasifikasi yang diberikan oleh orang Aceh untuk membedakan penduduk pedalaman berdasarkan Agama. Penduduk pedalaman yang bersedia menerima Islam adalah Gayo, sisanya oleh orang Aceh diklasifikasikan sebagai Batak (baca Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia oleh Anthony Reid). Dan kejadian itu baru terjadi sekitar tahun 1200-1300-an, bahkan mungkin lebih baru lagi. Jauh sebelumnya, Batak dan Gayo itu jelas sebuah entitas yang sama yang hanya berbeda di detail-detail kecil budaya dan kebiasaannya.
Jadi bukankah sangat konyol secara logika, kalau test DNA yang akan dicocokkan dengan kerangka yang ditemukan di Ceruk Mendale itu hanya mengambil sampel DNA suku Gayo yang dipercaya sebagai suku Gayo asli dengan mengesampingkan suku Gayo yang dianggap sebagai keturunan Batak 27. Sebab itu adalah hal yang sangat konyol, secara logika.
Karena kerangka itu berusia 6500 tahun, sementara Gayo menjadi entitas yang terpisah dengan Batak baru 800 Tahun. Jadi selama 5700 tahun sebelumnya (dengan menjadikan usia kerangka sebagai acuan) Batak adalah Gayo, dan sebaliknya.
Wassalam
Win Wan Nur
Orang Gayo Asal Isaq
Referensi :
Byzantium, The Early, Norwich, John J. 1996
Byzantium, Decline and Fall, Norwich, John J. 1996
Gajosch-Nederlandchs Woordenboek. Hazeu, G.A.J. 1907
Het Gajoland en eits bewoner
History of Hebrew People, CA Barton
Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia, Anthony Reid 2010
Nusantara, A History of Indonesia, Vlekke Bernard.1960
Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989. Bowen, John. R. 1991
Tanah Gayo dan penduduknya. C. Snouck Hurgronje, 1996
The Greatness That Was Babylon, HWF Saggs
The Indianized State of South East Asia, W. Vella .1968
The Seljuks in Asia Minor, Frederick A Fraeger .1961
The Sumerian, SN Kramer
http://the_uighurs.tripod.com/hist.htm
http://sejarawan.wordpress.com/2007/10/05/penduduk-indonesia-tertua-dan-persebaran-bangsa-bangsa-dalam-zaman-prehistori/
http://en.wikipedia.org/wiki/Proto-Malay
http://aalmarusy.blogspot.com/2010/09/kebudayaan-bacson-hoabinh-dan-dong-son.html
http://anthropologist.livejournal.com/1315039.html

sumber
http://sejarah.kompasiana.com/2011/07/05/menelusuri-sejarah-suku-gayo-melalui-dongeng-dan-bukti-arkeologi/

Didong


Didong adalah Sebuah kesenian rakyat Gayo yang dikenal dengan nama Didong, yaitu suatu kesenian yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Didong dimulai sejak zaman Reje Linge XIII. Kesenian ini diperkenalkan pertama kali oleh Abdul Kadir To`et. Kesenian didong lebih digemari oleh masyarakat Takengon dan Bener Meriah.

Makna
Ada yang berpendapat bahwa kata “didong” mendekati pengertian kata “denang” atau “donang” yang artinya “nyanyian sambil bekerja atau untuk menghibur hati atau bersama-sama dengan bunyi-bunyian”. Dan, ada pula yang berpendapat bahwa Didong berasal dari kata “din” dan “dong”. “Din” berarti Agama dan “dong” berarti Dakwah.

Fungsi
Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Para ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam didong ada nilai-nilai religius, nilai-nilai keindahan, nilai-nilai kebersamaan dan lain sebagainya. Jadi, dalam ber-didong para ceh tidak hanya dituntut untuk mampu mengenal cerita-cerita religius tetapi juga bersyair, memiliki suara yang merdu serta berperilaku baik. Pendek kata, seorang ceh adalah seorang seniman sejati yang memiliki kelebihan di segala aspek yang berkaitan dengan fungsinya untuk menyebarkan ajaran Islam. Didong waktu itu selalu dipentaskan pada hari-hari besar Agama Islam.

Permainan dan Peralatan
Satu kelompok kesenian didong biasanya terdiri dari para “ceh” dan anggota lainnya yang disebut dengan “penunung”. Jumlahnya dapat mencapai 30 orang, yang terdiri atas 4--5 orang ceh dan sisanya adalah penunung. Ceh adalah orang yang dituntut memiliki bakat yang komplit dan mempunyai kreativitas yang tinggi. Ia harus mampu menciptakan puisi-puisi dan mampu menyanyi. Penguasaan terhadap lagu-lagu juga diperlukan karena satu lagu belum tentu cocok dengan karya sastra yang berbeda. Anggota kelompok didong ini umumnya adalah laki-laki dewasa. Namun, dewasa ini ada juga yang anggotanya perempuan-perempuan dewasa.

Selain itu, ada juga kelompok remaja. Malahan, ada juga kelompok didong remaja yang campur (laki-laki dan perempuan). Dalam kelompok campuran ini biasanya perempuan hanya terbatas sebagai seorang Céh. Peralatan yang dipergunakan pada mulanya bantal (tepukan bantal) dan tangan (tepukan tangan dari para pemainnya). Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada juga yang menggunakan seruling, harmonika, dan alat musik lainnya yang disisipi dengan gerak pengiring yang relatif sederhana, yaitu menggerakkan badan ke depan atau ke samping.

Jalanya Pementasan
Pementasan didong ditandai dengan penampilan dua kelompok (Didong Jalu) pada suatu arena pertandingan. Biasanya dipentaskan di tempat terbuka yang kadang-kadang dilengkapi dengan tenda. Semalam suntuk kelompok yang bertanding akan saling mendendangkan teka-teki dan menjawabnya secara bergiliran.
Dalam hal ini para senimannya akan saling membalas “serangan” berupa lirik yang dilontarkan olah lawannya. Lirik-lirik yang disampaikan biasanya bertema tentang pendidikan, keluarga berencana, pesan pemerintah (pada zaman Orba), keindahan alam maupun kritik-kritik mengenai kelemahan, kepincangan yang terjadi dalam masyarakat. Benar atau tidaknya jawaban akan dinilai oleh tim juri yang ada, yang biasanya terdiri dari anggota masyarakat yang memahami ddidong ini secara mendalam.



sumber

Selasa, 28 Februari 2012

Bahasa Gayo

Bahasa Gayo digunakan dalam percakapaan sehari-hari. Penggunaan bahasa Gayodibedakan atas beberapa dialek, seperti dialek Gayo Lut yang terbagi lagi menjadi sub-dialek Lut dan Deret di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, dialek Blang Di Kabupaten Gayo Lues, Kalul di Kabupaten Aceh Tamiang, dan Lokop di Serbe Jadi Kabupaten Aceh Timur.

Bahasa Gayo (Pengucapan: Gayô) adalah bahasa yang dituturkan oleh suku Gayo di provinsi Aceh , yang terkonsentrasi di Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan kecamatan Serba Jadi di kabupaten Aceh Timur. Ketiga daerah ini merupakan wilayah inti suku Gayo. Bahasa ini termasuk kelompok bahasa yang disebut "Northwest Sumatra-Barrier Islands" dari bahasa Austronesia.

Bahasa Gayo merupakan salah satu bahasa yang ada di Nusantara. Keberadaan bahasa ini sama tuanya dengan keberadaan orang Gayo “urang Gayo” itu sendiri diIndonesia. Kita tidak bisa memisahkan bahasa Gayo dengan penuturnya “urang Gayo” dan sebaliknya. Sementara orang Gayo “urang Gayo” merupakan suku asli yang mendiami Aceh. Mereka memiliki bahasa, adat istiadat sendiri yang membedakan identitas mereka dengan suku-suku lain yang ada di Indonesia. Daerah kediaman mereka sendiri disebut dengan Tanoh Gayo (Tanah Gayo), tepatnya berada di tengah-tengah Provinsi Aceh.

Introduction / History of Gayo (English Language)


The Gayo live in the isolated central mountains of Aceh province on the island of Sumatera. Their homeland lies in the Bukit Barisan Range ("Parade of Mountains") which has elevations of over 12,000 feet and extends more than one thousand miles. Most Gayo live in the Central Aceh and Southeast Aceh regencies. The Gayo language has four dialects: Lut, Serbejadi-Lukup, Lut and Luwes. Their language does not have a writing system, but folk tales, stories and poetry are passed down in oral tradition. The Gayo are close neighbors to the strongly Islamic Aceh people. In the past, the sultans of Aceh conquered the Gayo region and made the Gayo slaves. After the initial Dutch resistance (during which many Gayo were killed), the Dutch occupied the area from 1904-1942. During this time, the Gayo developed a thriving cash crop economy in vegetables and coffee. During the occupation and during the last several decades of Indonesian independence, the Gayo have gained access to higher levels of education and participated to some degree in the Islamization and modernization of their area.

What are their beliefs?
Most Gayo are Muslims, but lacking orthodox understanding of the religion. Many Gayo people believe in good and bad spirits and in holy men, both dead and alive. They regularly give ritual offerings and sacrifices to the spirits, to holy men and to their ancestors.

What are their needs?
The Gayo need medical workers to improve the low understanding of health matters. The Gayo also need help in overcoming erosion and dangerous landslides, which at times block important transportation routes in their area. (by Joshua project)

Gayo of Indonesia

Peoples








Geographic



























Global








Global








Affinity Bloc






Global










People Cluster




Region












People


Country














People-by-Country (Profile)




















Religion
Language










Global


Language





















Religion










































Persebaran Suku Gayo

Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten:
Aceh Tengah, 
Bener Meriah, 

Gayo Lues dan 3 kecamatan di Aceh Timur, yaitu:
Kecamatan Serbe Jadi, 
Peunaron dan Simpang Jernih. 

Selain itu suku Gayo juga mendiami beberapa desa di:
Kabupaten Aceh Tamiang dan 
Aceh Tenggara.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More